Sebentar lagi, peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia akan tiba. Dan di saat yang sama, sebagian kelompok masyarakat yang saya sebut sebagai “hama pecinta sound horeg” tampaknya tengah bersiap-siap untuk merayakannya seperti hari raya. Mereka menyiapkan dentuman musik dan irama gaduh seolah tak terikat oleh norma, aturan, maupun nilai. Tak peduli apa hukumnya; yang penting joget terus.
Padahal, secara ilmiah dan fiqih, para ulama telah bersepakat bahwa penggunaan sound horeg itu haram. Berikut beberapa pendapat dan keputusan resmi lembaga keagamaan mengenai hal ini:
Salah satunya adalah Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2025 tentang Penggunaan Sound Horeg yang menyatakan:
“Penggunaan sound horeg menimbulkan mudarat. Yaitu, kebisingan melebihi batas wajar dan berpotensi tabdzir dan idha’atul mal (menyia-nyiakan harta). Hal ini ditegaskan hukumnya haram secara mutlak.”
Selain itu, Forum Bahtsul Masail (FBM) Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan, dalam sidangnya pada 27 Juni lalu, juga mengharamkan sound horeg. Putusan ini sejalan dengan sikap resmi PBNU, yang memegang tradisi keilmuan dan kehati-hatian dalam menetapkan hukum.
Namun yang ironis, masih ada pihak-pihak dari organisasi PWI di beberapa daerah yang justru mendukung praktik sound horeg ini. Ketika para ulama bicara dengan ilmu, mereka datang membawa dalih tanpa dasar. Maka wajar bila Lora Ismael menyindir keras:
“Perpaduan yang serasi antara PWI dan Sound Horeg, sama seperti Sound Horeg, PWI (Perjuangan Wali Songo Indonesia) memang banyak menyebar di Pulau Jawa, katanya demi memperjuangkan ajaran Wali Songo, tapi faktanya narasi perjuangan mereka lebih banyak menyebarkan kebencian terhadap golongan habaib dari klan Ba‘alawi.”
Di titik ini, kita perlu bertanya: apakah mereka masih tergolong ulama, atau sudah menjelma menjadi dukun berpanggung dan bersound system? Ketika ilmu tak lagi menjadi poros perjuangan, maka suara gaduh dijadikan kebenaran, dan ulama yang sejati akan ditertawakan oleh mereka yang buta etika.
Tidak ada komentar
Posting Komentar