Purnama ke-58: Malam Tanpa Suara Ibu
![]() |
| Purnama ke-58 Teungku Syarif di Tarim Yaman |
Biasanya setiap purnama, aku selalu teringat pada ibuku.
Cahaya bulat di langit itu seakan tombol kecil yang menyalakan rindu, membuatku membuka WhatsApp dan menanyakan kabarnya. Dan seperti biasa, aku selalu mendapatkan jawaban yang menenangkan—sebuah suara lembut dari jauh yang membuat jarak ribuan kilometer tak terasa begitu kejam.
Hanya sekali aku menerima kabar yang tidak baik.
Hari ketika ibuku mengabarkan bahwa ayah tiriku telah meninggal dunia. Suaranya waktu itu pelan, serak, tapi tegar. Aku ingat bagaimana malam terasa lebih panjang dari biasanya, seolah bulan pun ikut meredup mendengar duka yang disampaikan dari seberang lautan.
Dan kini, pada purnama ke-58 sejak aku datang ke Yaman, aku kembali duduk di bawah cahaya yang sama… tetapi rasanya berbeda.
Sudah sembilan hari aku kehilangan kabar ibuku.
Sembilan hari banjir di Banda Aceh dan Sumatera menelan listrik, menenggelamkan rumah, dan menghapus sinyal-sinyal kecil yang biasanya menjadi jembatan antara aku dan suara ibu.
Tiga hari pertama banjir aku mulai gelisah.
Aku tidak ingin kehilangan ibuku seperti aku kehilangan ayahku—dalam keadaan aku jauh, dalam negeri yang asing, sementara aku hanya bisa menatap langit dan bertanya kepada Tuhan apakah ibuku masih baik-baik saja.
Pemuda-pemuda desa akhirnya datang membawa kabar bahwa ibuku selamat. Hatiku sempat longgar, tetapi gelisah itu tidak pergi sepenuhnya.
Sebab ibuku tetap bertahan di rumahnya—rumah yang kini hanya tinggal atap, dan sebagian badannya sudah dilahap oleh bumi. Ia tidak mau meninggalkannya. Mungkin karena itu satu-satunya tempat yang tersisa baginya, atau mungkin karena di sanalah seluruh kisah hidupnya disimpan.
Aku ingin sekali mendengar suaranya.
Tapi listrik belum hidup, internet belum kembali, dan telepon genggam ibuku ikut dibawa arus banjir.
Tidak ada nada sambung. Tidak ada pesan. Hanya purnama di langit yang menawarkan cahaya, tetapi tidak bisa mengantarkan suara.
Oh purnama….
Engkau pernah menjadi penanda kebahagiaanku, saksi percakapanku dengan ibu, pengingat bahwa rindu bisa diredakan hanya dengan mendengar, “mak sehat di sini, Nak.”
Namun malam ini engkau terasa berat.
Indah, tapi menyakitkan.
Bulatan sempurnamu seperti menegaskan ketidaksempurnaan kabar yang tidak kunjung datang.
Aku duduk memandangmu, wahai purnama,
dan berbisik pelan dalam hati:
“Andai saja cahaya itu bisa menyampaikan rinduku kepada ibu,
maka malam ini aku akan meminta engkau mengetuk jendela rumah kami—
yang tinggal setengah itu—
dan katakan pada ibuku bahwa aku rindu,
bahwa aku menunggu,
bahwa aku ingin mendengar suaranya.”
Dan ketika aku menatapmu lebih lama, aku sadar satu hal:
bahwa aku dan ibuku kini berada di bawah sinarmu yang sama.
Engkaulah satu-satunya jembatan cahaya yang bisa mencapainya malam ini.
Alhamdulillah, Terima kasih, wahai purnama, karena engkau telah menerangi Yaman, dan juga menerangi Aceh—tempat ibuku mengungsi dalam gelap gulita.
Meski aku tak bisa memeluknya, engkau setidaknya memeluk langkah-langkahnya dengan sedikit cahaya.
Teungku Syarif
Tarim
Malam Jum’at 5 Desember 2025

Tidak ada komentar
Posting Komentar