Hari ke-1666 di Tarim, Tak Pernah Kusesali


Jika ada yang bertanya kepadaku, “Apa engkau pernah menyesal datang ke Tarim?”

Aku akan menjawab, tidak, dan tidak pernah terlintas sedikit pun penyesalan itu.


Aku masih mengingat betul betapa sulitnya mencari donatur untuk biaya keberangkatan ke Yaman setelah dinyatakan lulus seleksi. Setiap langkah terasa berat, setiap pintu yang kutok terasa lama terbuka. Namun kini, setelah berada di Tarim, setiap hari terasa seperti jawaban atas seluruh kesulitan itu.


Hampir sebulan sekali aku mengabari guruku—orang yang memberi izin dan membiayai perjalananku ke negeri ini. Dalam setiap pesan yang kukirim, selalu ada kalimat yang sama:

“Syekh, terima kasih banyak. Berkah antum luar biasa, begitu banyak ilmu baru yang saya pelajari, dan saya sangat bersyukur.”


Ada banyak hal yang membuatku bersyukur di kota ini. Di Tarim, aku tumbuh dalam suasana yang menjaga pandangan dan hati. Sejak datang, aku tak pernah berbicara langsung dengan wanita berhadapan muka, bahkan tak sekalipun melihat aurat mereka. Semua berhijab, semua berniqab, dan rasa malu seolah telah ditanamkan oleh udara dan keadaan di sekitarku.

Aku teringat negeri sendiri, di mana kadang oknum beragama justru mencederai kesucian ajaran. Tapi di sini, di kota yang sering difitnah itu, aku tak pernah mendengar hal serupa.


Aku bersyukur atas kehidupan di Tarim: masyarakat dan ulama hidup dalam kedamaian, tanpa saling mencaci. Setiap hari selalu ada kajian, selalu ada majelis zikir, seakan ilmu dan dzikir menjadi napas dari kota ini.


Aku akui, membaca Al-Qur’an secara rutin bukan hal mudah bagiku. Namun ketika melihat teman-teman dan masyarakat yang begitu cinta pada Al-Qur’an, semangat itu merembes perlahan ke dalam dadaku.

Aku malu ketika melihat tukang listrik di masjid tempatku azan ternyata hafal Al-Qur’an, sedangkan aku, seorang mahasiswa syariah, masih jauh tertinggal. Tapi rasa malu itu menjadi syukur—karena aku dikelilingi oleh orang-orang saleh.


Aku teringat ucapan Imam Al-Haddad yang kini benar-benar kurasakan maknanya:


“Seandainya seseorang menghabiskan biaya yang besar untuk mengunjungi Kota Tarim, maka biaya itu kecil bila dibandingkan dengan apa yang ia dapatkan di Kota Tarim.”


Semoga kebahagiaan yang kurasakan ini juga bisa kalian temukan dan syukuri.

Salam dari Teungku Badui di Tarim.